Minggu, 27 November 2011
kisah aceh menyusui indonesia
Aceh Menyusui Indonesia
Legenda Pahit Rakyat dan Para Saudagar Aceh
Aceh, seakan tak pernah henti menyusui Indonesia. Salah satu sumbangan yang tak kalah penting adalah. Tampilnya Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang menyumbangkan sekitar 35 kilogram emas murni untuk pembangunan Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Tugu Monas, kini menjadi ikon Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia.
Lagi-lagi, Soekarno dengan kelihaian rethorikanya, membujuk Teuku Markam untuk ikut dan berperan serta dalam proyek prestise ini. Saat itu, setidaknya, Soekarno ingin menunjukkan kepada dunia, Indonesia mampu sejajar dengan bangsa lain. Kalau di Paris ada menara Efiel, di China ada tembok raksasa, di Indonesia ada Monas. Begitulah Soekarno dengan segala sifat ambisiusnya.
Secara beruntun, kemudian lahir perusahaan vital lainnya seperti PT. AFF, PT.ARUN. PT. PIM, PT. KKA serta PT. Aromatic (Humpus Grup). Belum lagi, sumber daya alam seperti kayu dan bahan tambang. Intinya, konstribusi Aceh bagi dana pembangunan Indonesia, menjadi sisi lain dari sebuah perjalanan sejarah Indonesia. Dan, sebutan Aceh sebagai Daerah Modal Perjuangan serta Pembangunan, menjadi sahih adanya.
Dari hasil minyak dan gas, Aceh tiap tahunnya menyetorkan Rp 10,6 triliun atau 43 persen dari total penerimaan negara untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh tahun 1997/1998, Rp 328 miliar. Tragisnya, tahun 1998-1999, malah turun jadi Rp 153 miliar.
Kekayaan alam Aceh, yang menjadi pendapatan utama daerah tersebut adalah gas alam. Pusat pengolahan gas alam cair (LNG) yang bahan bakunya dieksploitasi dari daratan dan lepas pantai Aceh, diolah di Lhokseumawe, Aceh Utara. Produksi LNG menghasilkan devisa yang besar, setidaknya memberikan sumbangan sebesar 30% dari total ekspor gas dan minyak Indonesia. Penambangan dan pengolahan LNG dilakukan Exxon Mobil dan Pertamina.
Menariknya, saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1997-1999. Lagi-lagi, Aceh menunjukkan kesetiaannya kepada republik Indonesia. Saat itu, Aceh dipimpin Syamsuddin Mahmud, seorang pakar ekonomi dan mantan Rektor Unsyiah. Melalui putri Soeharto, Siti Indriati Indra Rukmana atau Mbak Tutut. Pak Syam, menyerahkan sekitar 20 kilogram emas serta puluhan lembaran dolar Amerika Serikat bernilai 100 $ per lembarnya kepada Mbak Tutut. Tujuannya, untuk menopang perekonomian negeri ini yang waktu itu sudah terpuruk akibat dihantam krisis moneter atau krismon.
Pada awal masa kemerdekaan, untuk menopang pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk, para saudagar Aceh juga memeiliki peran vital. Mereka menerobos blokade ankatan laut Belanda untuk menyeludupkan barang datgangan hingga ke Semenanjung Malaysia. Ketika kontak dengan Jakarta tersedat, Residen Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Tapi hak para saudagar Aceh itu pun kemudian diabaikan.
Ironisnya, meski Soekarno menyangjung habis Aceh sebagai daerah modal, karena telah mendanai republik, para sudagar Aceh itu kemudian harus berjuang ke pengadilan untuk menuntut haknya. Hutang mereka ditolak pembayarannya oleh pemerintah.
Sebuah kisah perjudian nasib dilakoni para saudagar Aceh. Untuk bisa menjual karet, getah dan komoditas lainnya ke Malaysia dan singapura, para eksportir asal Aceh mesti bertarung di lautan dengan angkatan laut Belanda di Selat Malaka.
Penjualan barang ke Malaysia dan Singapura untuk mendanai republik tersebut, lebih tepatnya disebut sebagai penyeludupan. Setiap saat kapal yang membawa barang ke negeri jiran itu, harus mengelabui armada angkatan laut Belanda yang berpatroli di Selat Malaka.
Salah satu yang sangat fenomenal adalah usaha penyeludupan karet pengusaha asal Aceh oleh Jhon Lie, warga Indonesia keturunan Cina asal Menado ini mendapat perintah dari Menteri Pertahanan RI, Mr Ali Budiardjo untuk menjual kareta asal Aceh ke Semenanjung Malaysia. Hasil penjualan karet milik saudagar Aceh itu digunakan untuk membiayai perjalanan keliling dunia Menteri Luar Negeri RI, H Agus Salim.
Beberapa saudagar Aceh yang memainkan peranan dalam kontak datgang dengan negeri jiran itu antara lain, Muhammad Saman dari PT Puspa, Nyak Neh dari Lho’ Nga Co, Muhammad Hasan dari Perdagangan Indonesia Muda (PIM) dan Abdul Gani dari Mutiara. Barang-barang seludupan saudagar Aceh tersebut dikoordinir oleh Oesman Adamy dan diseludupakan oleh Jhon Lie. Sampai di Semenanjung Malaysia barang-barang tersebut ditampung oleh pengusaha asal Aceh, diantaranya Teuku Makam, Jaâfar Hanafiah, dan Ali Basyah Tawi.
Dalam perniagaan tersebut, awalnya menggunakan alat tukar uang Republik Indonesia. Tapi karena faktor keamanan yang semakin memburuk, maka daerah keresidenan Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Saat dimasukkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1948 juga mengeluarkan uang kertas sendiri.
Untuk menopang perekonomian, serta sebagai alat transaksi, selama tujuh hari saja, 2 sampai 8 Mei 1949, dicetak uang rupiah oripsui sebayak 156.750.000 yang terdiri atas 405.000 lembar Rupiah Oripsu 250, dan 111.000 lembar Rupiah Oripsu 500.
Adalah Abdul Muid, pegawai keuangan yang bertanggungjawab atas percetakan dan pengedaran uang oripsu tersebut. Selain itu ia juga bertugas mempertahankan nilai banding uang oripsu dengan dolar Singapura.
Namun keseimbangan antara uang Oripsu dengan Dolar Singapura tidak dapat dipertahankan. Akhirnya pada 16 Mei 1949, dikeluarkanlah ketetapan GSO nomor 302/RI tentang penetapan penarikan uang Oripsu sebnayak 500.000.000. Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga barang setiap hari. Berkurangnya impor barang yang diperlukan. Akibatnya biaya hidup semakin meningkat.
Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah mengambil beberapa tindakan, diantaranya pembentukan suatu badan penyehatan yang diketuai oleh M Nue El Ibrahimi. Tugas badan ini mempertinggi produksi barang dalam negeri dan impor barang yang dibutuhkan dari luar negeri.
Namun nasib para eksportir Aceh yang menyokong pembiayaan republik tersebut akhirnya terpuruk, karena pada 22 September 1949, Syarifuddin Prawira Negara mengeluarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri nomor 2/1949/WPM, yang isinya melarang adanya aktivitas ekspor barang dari daerah Sumatera Utara.
Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana Mentreri tanggal 17 Oktober 1949 nomor 1/1949/WPM, yang mencabut ketetapan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera, tanggal 14 Agustus 1948 nomor 7, yang mengatur soal pengutipan bea ekspor dan perhitungan dolar untuk hasil bumi.
Kebijaksanaan yang diambil oleh Wakil Perdana Menteri tersebut bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang diambil oleh pemerintah daerah soal ekspor impor barang dari dan ke Semenanjung Malaysia.
Lebih ironis lagi, para saudagar Aceh yang melakukan kontak dagang pengusaha di Semenanjung Malaysia, setelah Indonesia benar-benar merdeka tidak memperoleh perlakuan yang wajar dari pemerintah. Hutan getah yang masih harus diperoleh dari pemerintah atas dasar perjanjian jual beli, ditolak pembayarannya.
Hanya Muhammad Saman yang berhasil memperoleh haknya setelah menggugat pemerintah ke pengadilan. Sementara Abdul Gani Mutiara, Nyak Neh, dan Muhammad Hasan tidak memperoleh pembayaran hutang dari negara. Hak mereka atas perjanjian jual beli ditolak pembayarannya. Untuk memperoleh haknya, para saudagar itu pun menuntut pemerintah ke pengadilan, tapi gagal.
Pengadilan Negeri Jakarta Raya, melalui putusan nomor 335/1952 g, tanggal 13 Juli 1965, menolak tuntutan Nyak Neh dengan alasan gubernur mempunyai kedudukan istimewa, tidak dapat dituntut ke muka hakim. Alasan lainnya, tuntutan tersebut akan menjatuhkan wibawa gubernur selaku wakil pemerintah pusat di Aceh.
Nyak Neh kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi, Jakarta, namun lagi-lagi kandas. Melalui putusan nomor 212/1966 PT perdata tanggal 31 Oktober 1966, Pengadilan Tinggi Jakarta dalam amar putusannya menolak upaya banding tersebut.
Namun Nyak Neh tidak berhenti sampai disitu, ia pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namum Mahkamah Agung dalam putusannya 5 Februari 1969 Reg No 10 K/Sip/1968, menolak kasasi tersebut. Lagi-lagi pemerintah berkelit untuk membayar hutangnya pada para saudagar Aceh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar